Kikir adalah sifat tercela yang
menimbulkan perseteruan dan perselisihan dalam hati serta menimbulkan
kebencian. Hal ini terdapat dalam hadis shahih, Rasulullah ﷺ bersabda :
وَاتَّقُوا
الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ
سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ . [أخرجه مسلم]
"Hati-hatilah kalian dari
sifat bakhil sesungguhnya sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.
Yang mendorong mereka untuk rela menumpahkan darah serta menghalalkan segala
perkara yang diharamkan". [HR Muslim no: 2578.]
Merupakan sebuah keberuntungan
jika seseorang bisa meninggalkan sifat pelit dan kikir. Allah ﷻ berfirman :
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
"Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung". [Al-Hasyr : 9]
Sifat kikir di kalangan orang Arab termasuk sifat yang paling jelek dan paling buruk akhlaknya. Di antara sya`ir mereka:
Saya melihat orang-orang sebagai
saudara dari orang-orang yang dermawan,
dan saya tidak melihat orang kikir yang mempunyai teman di dunia
Dan yang lebih keterlaluan dan keji lagi apabila sang suami berlaku kikir terhadap istri dan anak-anaknya, sehingga membuat hidup mereka sengsara, cemas dan tertekan. ia membiarkan Keluarganya melihat orang-orang disekitarnya menikmati apa yang telah Allah ﷻ anugerahkan kepada mereka, sedangkan ia malah pelit terhadap keluarganya, padahal Allah ﷻ telah mencukupiya, sehingga dia membuat keluarganya seolah berada di dalam neraka.
Wahai para suami!
Istrimu tidak meninggalkan rumah orang tuanya untuk tinggal bersama anda dalam kekikiran, padahal sebelumnya ia adalah seorang yang dihormati oleh keluarganya
Wahai para suami!
Untuk siapa uang ini?! Dan untuk siapa anda menimbunnya?! Jika anda tidak menikmatinya dan membuat keluarga anda bahagia dengan harta itu pada akhirnya harta tersebut akan kembali kepada mereka setelah kematian anda, dan mereka akan bergembira dengan itu. Maka hormatilah mereka, niscaya Allah ﷻ akan memuliakan anda dengan karunia-Nya dan Allah ﷻ akan menjadikan anda bahagia dan dicintai oleh keluarga. Anak-anak akan merasa nyaman dengan kehadiran anda, dan istri pun senang saat anda datang.
Ingatlah wahai para suami!
Nafkah bukan sebuah santunan ataupun donasi yang diberikan hanya saat anda mau. Nafkah merupakan sebuah kewajiban yang ada di pundak anda. Allah ﷻ berfirman:
لِيُنفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ
ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ
سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan". [Al-Tholaq : 7]
Dan ingatlah wahai para suami!
Apapun yang anda belanjakan untuk keluarga dan anak-anak anda, carilah pahalanya di sisi Allah ﷻ, karena pahalanya lebih besar dari pada harta yang sesaat. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” [HR. Bukhari no. 56]
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).