KAFFARATUL MAJLIS

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang duduk dalam suatu majelis dan banyak bicara yang tidak berguna, kemudian dia mengucapkan sebelum meninggalkan majelis tersebut: ‘Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika’ (Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu), maka akan diampuni apa yang terjadi di majelis itu.” Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa’i, dan Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih.

Seorang muslim dalam majelisnya diharuskan untuk menghindari pembicaraan yang tidak berguna, dan harus menyadari bahwa setiap kata-katanya dalam majelis dihitung dan dicatat dalam amalannya, dan wajib baginya untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Namun, seorang hamba sekalipun berusaha keras dalam hal ini, pasti akan ada kekurangan dalam majelisnya, meskipun itu hanya karena dia melewatkan kebaikan ketika sibuk dengan yang mubah daripada yang mustahab sudah cukup sebagai kekurangan. Apalagi jika banyak majelis yang tidak terbebas dari pembicaraan yang tidak berguna, bahkan terkadang dari dosa, maka kata-kata ini menjadi penebus bagi hamba atas apa yang terjadi di majelis itu. 

Perlu diketahui di sini bahwa kesalahan dan dosa yang terjadi dalam majelis orang-orang karena penyakit lisan terbagi menjadi dua: 

Pertama: Dosa besar seperti: ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), ejekan, kutukan, caci maki, dan fitnah terhadap kehormatan orang lain, maka tidak boleh seseorang berkata: Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang dapat duduk di majelisnya dan menggunjing siapa pun yang dia inginkan, mengadu domba, mengejek, mencela, dan mengatakan hal-hal haram dan dosa, kemudian mengakhiri majelisnya dengan tasbih ini dan diampuni apa yang terjadi. 

Dosa besar memerlukan pertobatan, dan jika dampaknya menyebar, maka harus dihapus dampak tersebut. Misalnya, jika seseorang mengadu domba sehingga menimbulkan permusuhan antara dua orang, atau menggunjing sehingga memenuhi hati orang lain dengan kebencian terhadap seorang muslim, maka tidak cukup baginya untuk mengucapkan zikir ini di akhir majelis sebagai penebus atas apa yang terjadi. Dosa besar memerlukan pertobatan kepada Allah Ta’ala dari dosa-dosa dan dosa besar tersebut. 

Kedua: Dosa kecil dan kesalahan yang tidak berdampak pada orang lain, maka doa ini akan menebusnya ketika bangkit dari majelis. 

Kesimpulannya, seorang hamba harus menjaga majelisnya dari dosa dan kesalahan, dan harus berusaha untuk mengakhiri majelisnya dengan zikir yang mulia dan agung ini yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ucapan Nabi Shallallahu `alaihi wasallam: “(maka dia mengucapkan sebelum meninggalkan majelis tersebut).” menunjukkan pentingnya berusaha untuk mengucapkannya di majelis itu sendiri sebelum bangkit darinya, sehingga menjadi penutup majelis. 

Zikir ini tidak hanya khusus untuk majelis yang banyak bicara yang tidak berguna, tetapi mencakup setiap majelis, bahkan majelis zikir; sebagaimana yang shahih dari hadis Jubair bin Mut’im radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan: ‘Subhanallah walhamdulillah, Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika’, lalu dia mengucapkannya dalam majelis zikir, maka itu seperti cap yang dicetak padanya, dan barang siapa yang mengucapkannya dalam majelis yang tidak berguna, maka itu menjadi penebus baginya.” 

Ucapan beliau: “(Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta).” mengumpulkan tiga kata dari empat kata yang paling dicintai oleh Allah: “tasbih, tahmid, dan tahlil,” kemudian diikuti dengan memohon ampunan: “Astaghfiruka wa atubu ilaika”; artinya: Saya memohon kepada-Mu ya Allah untuk mengampuni saya dan menerima pertobatan saya. 

Ucapan beliau: “(maka akan diampuni apa yang terjadi di majelis itu).” artinya: dari dosa kecil, sedangkan dosa besar, telah ditunjukkan oleh nash-nash umum bahwa memerlukan pertobatan, Allah berfirman: “Jika kalian menjauhi dosa besar yang dilarang kepada kalian, Kami akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke tempat yang mulia” [An-Nisa: 31], dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Shalat lima waktu, dan Jum’at ke Jum’at, adalah penebus untuk apa yang terjadi di antaranya, selama tidak dilakukan dosa besar,” dan diketahui bahwa shalat lima waktu lebih agung dari ucapan: Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika, bahkan semua kata-kata ini ada dalam shalat: tasbih, takbir, tahlil, dan istighfar, namun dengan itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “selama tidak dilakukan dosa besar.” 

Dan jika majelis itu berisi pembicaraan terkait kehormatan orang muslim: ghibah, namimah, ejekan, dan sejenisnya, maka itu adalah hak-hak orang lain; tidak cukup bagi seseorang untuk mengucapkan zikir ini dan berpikir bahwa hak-hak tersebut telah gugur; hak-hak tersebut tidak gugur kecuali dengan pengampunan dan pemaafan dari mereka. Tetapi harus bertobat darinya; menyesal telah mengucapkannya, bertekad untuk tidak kembali kepadanya, dan sepenuhnya berhenti darinya dalam majelis yang akan datang, dan ini adalah pertobatan yang tulus, dan Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan pertobatan yang tulus, semoga Rabb kalian menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” [At-Tahrim: 8],.

Maka salah satu syarat pertobatan yang diterima adalah bahwa itu harus tulus, dan pertobatan yang tulus adalah yang memenuhi syarat-syarat pertobatan: penyesalan, penghentian, dan tekad untuk tidak kembali ke dosa lagi.

sumber: https://al-badr.net

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama